Ring ring
dari Dr. Badri Yatim. MA. mengungkapkan dalam bukunya c. Kegemilangan Iptek di Masa Khilafah Abasiyyah Kekhilafahan Abbasiyah tercatat dalam sejarah Islam dari tahun 750-1517 M/132-923 H. Diawali oleh khalifah Abu al-’Abbas as-Saffah (750-754) dan diakhiri Khalifah al-Mutawakkil Alailah III (1508-1517). Dengan rentang waku yang cukup panjang, sekitar 767 tahun, kekhilafahan ini mampu menunjukkan pada dunia ketinggian peradaban Islam dengan pesatnya perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di dunia Islam. Di era ini, telah lahir ilmuwan-ilmuwan Islam dengan berbagai penemuannya yang mengguncang dunia. Sebut saja, al-Khawarizmi (780-850) yang menemukan angka nol dan namanya diabadikan dalam cabang ilmu matematika, Algoritma (logaritma). Ada Ibnu Sina (980-1037) yang membuat termometer udara untuk mengukur suhu udara. Bahkan namanya tekenal di Barat sebagai Avicena, pakar Medis Islam legendaris dengan karya ilmiahnya Qanun (Canon) yang menjadi referensi ilmu kedokteran para pelajar Barat. Tak ketinggalan al-Biruni (973-1048) yang melakukan pengamatan terhadap tanaman sehingga diperoleh kesimpulan kalau bunga memiliki 3, 4, 5, atau 18 daun bunga dan tidak pernah 7 atau 9. Pada abad ke-8 dan 9 M, negeri Irak dihuni oleh 30 juta penduduk yang 80% nya merupakan petani. Hebatnya, mereka sudah pakai sistem irigasi modern dari sungai Eufrat dan Tigris. Hasilnya, di negeri-negeri Islam rasio hasil panen gandum dibandingkan dengan benih yang disebar mencapai 10:1 sementara di Eropa pada waktu yang sama hanya dapat 2,5:1. Kecanggihan teknologi masa ini juga terlihat dari peninggalan-peninggalan sejarahnya. Seperti arsitektur mesjid Agung Cordoba; Blue Mosque di Konstantinopel; atau menara spiral di Samara yang dibangun oleh khalifah al- Mutawakkil, Istana al-Hamra (al-Hamra Qasr) yang dibangun di Seville, Andalusia pada tahun 913 M. Sebuah Istana terindah yang dibangun di atas bukit yang menghadap ke kota Granada. Kekhilafahan Abbasiyah dengan kegemilangan ipteknya kini hanya tercatat dalam buku usang sejarah Islam. Tapi jangan khawatir, someday Islam akan kembali jaya dan tugas kita semua untuk mewujudkannya. Dinasti Abbasiyiah membawa Islam ke puncak kejayaan. Saat itu, dua pertiga bagian dunia dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Tradisi keilmuan berkembang pesat. Masa kejayaan Islam, terutama dalam bidang ilmu pengetahun dan teknologi, kata Ketua Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia, Dr Muhammad Lutfi, terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Dia adalah khalifah dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 786. Saat itu, kata Lutfi, banyak lahir tokoh dunia yang kitabnya menjadi referensi ilmu pengetahuan modern. Salah satunya adalah bapak kedokteran Ibnu Sina atau yang dikenal saat ini di Barat dengan nama Avicenna. Sebelum Islam datang, kata Luthfi, Eropa berada dalam Abad Kegelapan. Tak satu pun bidang ilmu yang maju, bahkan lebih percaya tahyul. Dalam bidang kedoteran, misalnya. Saat itu di Barat, jika ada orang gila, mereka akan menangkapnya kemudian menyayat kepalanya dengan salib. Di atas luka tersebut mereka akan menaburinya dengan garam. ”Jika orang tersebut berteriak kesakitan, orang Barat percaya bahwa itu adalah momen pertempuran orang gila itu dengan jin. Orang Barat percaya bahwa orang itu menjadi gila karena kerasukan setan,” jelas Luthfi. Pada saat itu tentara Islam juga berhasil membuat senjata bernama ‘manzanik’, sejenis ketepel besar pelontar batu atau api. Ini membuktikan bahwa Islam mampu mengadopsi teknologi dari luar. Pada abad ke-14, tentara Salib akhirnya terusir dari Timur Tengah dan membangkitkan kebanggaan bagi masyarakat Arab. Lain lagi pada masa pemerintahan dinasti Usmaniyah — di Barat disebut Ottoman — yang kekuatan militernya berhasil memperluas kekuasaan hingga ke Eropa, yaitu Wina hingga ke selatan Spanyol dan Perancis. Kekuatan militer laut Usmaniyah sangat ditakuti Barat saat itu, apalagi mereka menguasai Laut Tengah. Kejatuhan Islam ke tangan Barat dimulai pada awal abad ke-18. Umat Islam mulai merasa tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi setelah masuknya Napoleon Bonaparte ke Mesir. Saat itu Napoleon masuk dengan membawa mesin-mesin dan peralatan cetak, ditambah tenaga ahli. Dinasti Abbasiyah jatuh setelah kota Baghdad yang menjadi pusat pemerintahannya diserang oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Di sisi lain, tradisi keilmuan itu kurang berkembang pada kekhalifahan Usmaniyah. Salah langkah diambil saat mereka mendukung Jerman dalam perang dunia pertama. Ketika Jerman kalah, secara otomatis Turki menjadi negara yang kalah perang sehingga akhirnya wilayah mereka dirampas Inggris dan Perancis. Tanggal 3 Maret 1924, khilafah Islamiyah resmi dihapus dari konstitusi Turki. Sejak saat itu tidak ada lagi negara yang secara konsisten menganut khilafah Islamiyah. Terjadi gerakan sekularisasi yang dipelopori oleh Kemal At- Taturk, seorang Zionis Turki. Kini 82 tahun berlalu, umat Muslim tercerai berai. Akankah Islam kembali mengalami zaman keemasan seperti yang terjadi di 700 tahun awal pemerintahannya? Ketua MUI, KH Akhmad Kholil Ridwan menyatakan optimismenya bahwa Islam akan kembali berjaya di muka bumi. Ridwan menyebut saat ini merupakan momen kebangkitan Islam kembali. ”Seperti janji Allah, 700 tahun pertama Islam berjaya, 700 tahun berikutnya Islam jatuh dan sekarang tengah mengalami periode 700 tahun ketiga menuju kembalinya kebangkitan Islam,” ujarnya. Meskipun saat ini umat Islam banyak ditekan, ujar Ridwan, semua upaya ini justru semakin memperkuat eksistensi Islam. Ini sesuai janji Allah yang menyatakan bahwa meskipun begitu hebatnya musuh menindas Islam namun hal ini bukannya akan melemahkan umat Islam. ”Ibaratnya paku, semakin ditekan, Islam akan semakin menancap dengan kuat,”ujarnya. Sementara itu, Luthfi menyatakan sistem khilafah Islamiyah masih relevan diterapkan pada zaman sekarang ini asal dimodifikasi. Ia mencontohkan konsep pemerintahan yang dianut Iran yang menjadi modifikasi antara teokrasi (kekuasaan yang berpusat pada Tuhan) dan demokrasi (yang berpusat pada masyarakat). Di Iran, kekuasaan tertinggi tidak dipegang parlemen atau presiden, melainkan oleh Ayatullah atau Imam, yang juga memiliki Dewan Ahli dan Dewan Pengawas. Sistem pemerintahan Iran ini, menurut Luthfi, merupakan tandingan sistem pemerintahan Barat. ”Tak heran kalau Amerika Serikat sangat takut dengan Iran karena mereka bisa menjadi tonggak peradaban baru Islam.” Konsep khilafah Islamiyah, kata Luthfi, mengharuskan hanya ada satu pemerintahan Islami di dunia dan tidak terpecah-belah berdasarkan negara atau etnis. ”Untuk mewujudkannya lagi saat ini, sangat sulit,” kata dia. Sementara Kholil Ridwan menjelaskan ada tiga upaya konkret yang bisa dilakukan umat untuk mengembalikan kejayaan Islam di masa lampau. Yang pertama adalah merapatkan barisan. Allah berfirman dalam QS Ali Imran ayat 103 yang isinya “Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” Upaya lainnya adalah kembali kepada tradisi keilmuan dalam agama Islam. Dalam Islam, jelasnya, ada dua jenis ilmu, yaitu ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Yang masuk golongan ilmu fardhu ‘ain adalah Al-Quran, hadis, fikih, tauhid, akhlaq, syariah, dan cabang-cabangnya. Sedangkan yang masuk ilmu fardhu kifayah adalah kedokteran, matematika, psikologi, dan cabang sains lainnya. Sementara upaya ketiga adalah dengan mewujudkan sistem yang berdasarkan syariah Islam. d. Runtuhnya sebuah kejayaan Jatuh itu memang menyakitkan. Apalagi ketika kita udah berada jauh di puncak kesuksesan. Setelah berhasil membangun kejayaan selama 14 abad lebih, akhirnya peradaban Islam jatuh tersungkur. Inilah kisah tragis yang dialami peradaban Islam. Bukan tanpa sebab tentunya. Serangan pemikiran dan militer dari Barat bertubi-tubi menguncang Islam. Akibatnya, kaum muslimin mulai goyah. Puncaknya, adalah tergusurnya Khilafah Islamiyah di Turki dari pentas perpolitikan dunia. Saat itu, Inggris menetapkan syarat bagi Turki, bahwa Inggris tak akan menarik dirinya dari bumi Turki, kecuali setelah Turki menjalankan syarat-syarat berikut: Pertama, Turki harus menghancurkan Khilafah Islamiyah, mengusir Khalifah dari Turki, dan menyita harta bendanya. Kedua, Turki harus berjanji untuk menumpas setiap gerakan yang akan mendukung Khilafah. Ketiga, Turki harus memutuskan hubungannya dengan Islam. Keempat, Turki harus memilih konstitusi sekuler, sebagai pengganti dari konstitusi yang bersumber dari hukum-hukum Islam. Mustafa Kamal Ataturk kemudian menjalankan syarat- syarat tersebut, dan negara-negara penjajah pun akhirnya menarik diri dari wilayah Turki (Jalal al-Alam dalam kitabnya Dammirul Islam Wa Abiiduu Ahlahu, hlm. 48) Cerzon (Menlu Inggris saat itu) menyampaikan pidato di depan parlemen Inggris, “Sesungguhnya kita telah menghancurkan Turki, sehingga Turki tidak akan dapat bangun lagi setelah itu… Sebab kita telah menghancurkan kekuatannya yang terwujud dalam dua hal, yaitu Islam dan Khilafah.” Jadi terakhir kaum muslimin hidup dalam naungan Islam adalah di tahun 1924, tepatnya tanggal 3 Maret tatkala Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki alias Konstantinopel diruntuhkan oleh kaki tangan Inggris keturunan Yahudi, Musthafa Kemal Attaturk. Nah, dialah yang mengeluarkan perintah untuk mengusir Khalifah Abdul Majid bin Abdul Aziz, Khalifah (pemimpin) terakhir kaum muslimin ke Swiss, dengan cuma berbekal koper pakaian dan secuil uang. Sebelumnya Kemal mengumumkan bahwa Majelis Nasional Turki telah menyetujui penghapusan Khilafah. Sejak saat itulah sampai sekarang kita nggak punya lagi pemerintahan Islam. Akibatnya, umat Islam terkotak-kotak di berbagai negeri berdasarkan letak geografis yang beraneka ragam, yang sebagian besarnya berada di bawah kekuasaan musuh yang kafir: Inggris, Perancis, Italia, Belanda, dan Rusia. Di setiap negeri tersebut, kaum kafir telah mengangkat penguasa yang bersedia tunduk kepada mereka dari kalangan penduduk pribumi. Para penguasa ini adalah orang-orang yang mentaati perintah kaum kafir tersebut, dan mampu menjaga stabilitas negerinya. Kaum kafir segera mengganti undang-undang dan peraturan Islam yang diterapkan di tengah-tengah rakyat dengan undang-undang dan peraturan kafir milik mereka. Kaum kafir segera mengubah kurikulum pendidikan untuk mencetak generasi-generasi baru yang mempercayai persepsi kehidupan menurut Barat, serta memusuhi akidah dan syariat Islam. Khilafah Islamiyah dihancurkan secara total, dan aktivitas untuk mengembalikan serta mendakwahkannya dianggap sebagai tindakan kriminal yang dapat dijatuhi sanksi oleh undang-undang. Harta kekayaan dan potensi alam milik kaum muslimin telah dirampok oleh penjajah kafir, yang telah mengeksploitasi kekayaan tersebut dengan cara yang seburuk-buruknya, dan telah menghinakan kaum muslimin dengan sehina- hinanya (Syaikh Abdurrahman Abdul Khalik, dalam kitabnya al-Muslimun Wal Amal as- Siyasi, hlm. 13) Beginilah kita sekarang sobat. Tapi jangan bersedih, sebab kita akan kembali mengagungkan kejayaan Islam itu. Yakinlah, kita masih bisa merebutnya, meski dengan nyawa sebagai tebusannya. Kita lahir ke dunia ini dengan berlumur darah, maka kenapa musti takut mati dengan berlumur darah. Syahid di medan tempur. e. Pandangan Islam terhadap IPTEK Ahmad Y Samantho dalam makalahnya di ICAS Jakarta (2004) mengatakan bahwa kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, yang kini dipimpin oleh peradaban Barat satu abad terakhir ini, mencegangkan banyak orang di pelbagai penjuru dunia. Kesejahteraan dan kemakmuran material (fisikal) yang dihasilkan oleh perkembangan Iptek modern tersebut membuat banyak orang lalu mengagumi dan meniru-niru gaya hidup peradaban Barat tanpa dibarengi sikap kritis terhadap segala dampak negatif dan krisis multidimensional yang diakibatkannya. Peradaban Barat moderen dan postmodern saat ini memang memperlihatkan kemajuan dan kebaikan kesejahteraan material yang seolah menjanjikan kebahagian hidup bagi umat manusia. Namun karena kemajuan tersebut tidak seimbang, pincang, lebih mementingkan kesejahteraan material bagi sebagian individu dan sekelompok tertentu negara-negara maju (kelompok G-8) saja dengan mengabaikan, bahkan menindas hak-hak dan merampas kekayaan alam negara lain dan orang lain yang lebih lemah kekuatan iptek, ekonomi dan militernya, maka kemajuan di Barat melahirkan penderitaan kolonialisme- imperialisme (penjajahan) di Dunia Timur & Selatan. Kemajuan Iptek di Barat, yang didominasi oleh pandangan dunia dan paradigma sains (Iptek) yang positivistik-empirik sebagai anak kandung filsafat-ideologi materialisme- sekuler, pada akhirnya juga telah melahirkan penderitaan dan ketidakbahagiaan psikologis/ ruhaniah pada banyak manusia baik di Barat maupun di Timur. Krisis multidimensional terjadi akibat perkembangan Iptek yang lepas dari kendali nilai-nilai moral Ketuhanan dan agama. Krisis ekologis, misalnya: berbagai bencana alam: tsunami, gempa dan kacaunya iklim dan cuaca dunia akibat pemanasan global yang disebabkan tingginya polusi industri di negara- negara maju; Kehancuran ekosistem laut dan keracunan pada penduduk pantai akibat polusi yang diihasilkan oleh pertambangan mineral emas, perak dan tembaga, seperti yang terjadi di Buyat, Sulawesi Utara dan di Freeport Papua, Minamata Jepang. Kebocoran reaktor Nuklir di Chernobil, Rusia, dan di India, dll. Krisis Ekonomi dan politik yang terjadi di banyak negara berkembang dan negara miskin, terjadi akibat ketidakadilan dan ’penjajahan’ (neo- imperialisme) oleh negara-negara maju yang menguasai perekonomian dunia dan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, saat ini pada umumnya adalah negara- negara berkembang atau negara terkebelakang, yang lemah secara ekonomi dan juga lemah atau tidak menguasai perkembangan ilmu pengetahuan dan sains- teknologi. Karena nyatanya saudara-saudara Muslim kita itu banyak yang masih bodoh dan lemah, maka mereka kehilangan harga diri dan kepercayaan dirinya. Beberapa di antara mereka kemudian menjadi hamba budaya dan pengikut buta kepentingan negara-negara Barat. Mereka menyerap begitu saja nilai-nilai, ideologi dan budaya materialis (’matre’) dan sekular (anti Tuhan) yang dicekokkan melalui kemajuan teknologi informasi dan media komunikasi Barat. Akibatnya krisis-krisis sosial-moral dan kejiwaan pun menular kepada sebagian besar bangsa-bangsa Muslim. Kenyataan memprihatikan ini sangat ironis. Umat Islam yang mewarisi ajaran suci Ilahiah dan peradaban dan Iptek Islam yang jaya di masa lalu, justru kini terpuruk di negerinya sendiri, yang sebenarnya kaya sumber daya alamnya, namun miskin kualitas sumberdaya manusianya (pendidikan dan Ipteknya). Ketidakadilan global ini terlihat dari fakta bahwa 80% kekayaan dunia hanya dikuasai oleh 20 % penduduk kaya di negara-negara maju. Sementara 80% penduduk dunia di negara-negara miskin hanya memperebutkan remah-remah sisa makanan pesta pora bangsa- bangsa negara maju. Ironis bahwa Indonesia yang sangat kaya dengan sumber daya alam minyak dan gas bumi, justru mengalami krisis dan kelangkaan BBM. Ironis bahwa di tengah keberlimpahan hasil produksi gunung emas-perak dan tembaga serta kayu hasil hutan yang ada di Indonesia, kita justru mengalami kesulitan dan krisis ekonomi, kelaparan, busung lapar, dan berbagai penyakit akibat kemiskinan rakyat. Kemana harta kekayaan kita yang Allah berikan kepada tanah air dan bangsa Indonesia ini? Mengapa kita menjadi negara penghutang terbesar dan terkorup di dunia? Kenyataan menyedihkan tersebut sudah selayaknya menjadi cambuk bagi kita bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim untuk gigih memperjuangkan kemandirian politik, ekonomi dan moral bangsa dan umat. Kemandirian itu tidak bisa lain kecuali dengan pembinaan mental-karakter dan moral (akhlak) bangsa-bangsa Islam sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi keimanan-taqwa kepada Allah swt. Serta melawan pengaruh buruk budaya sampah dari Barat yang Sekular, Matre dan hedonis (mempertuhankan kenikmatan hawa nafsu). Akhlak yang baik muncul dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt Sumber segala Kebaikan, Keindahan dan Kemuliaan. Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah swt hanya akan muncul bila diawali dengan pemahaman ilmu pengetahuan dan pengenalan terhadap Tuhan Allah swt dan terhadap alam semesta sebagai tajaliyat (manifestasi) sifat-sifat KeMahaMuliaan, Kekuasaan dan Keagungan- Nya. Islam, sebagai agama penyempurna dan paripurna bagi kemanusiaan, sangat mendorong dan mementingkan umatnya untuk mempelajari, mengamati, memahami dan merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan kata lain Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan Ipteknya hanya untuk kepentingan duniawi yang ’matre’ dan sekular, maka Islam mementingkan pengembangan dan penguasaan Iptek untuk menjadi sarana ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah swt dan mengembang amanat Khalifatullah (wakil/mandataris Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin). Ada lebih dari 800 ayat dalam Al-Quran yang mementingkan proses perenungan, pemikiran dan pengamatan terhadap berbagai gejala alam, untuk ditafakuri dan menjadi bahan dzikir (ingat) kepada Allah. Yang paling terkenal adalah ayat: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imron [3] : 190-191) “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Mujadillah [58]: 11 ) Bagi umat Islam, kedua-duanya adalah merupakan ayat-ayat (atau tanda-tanda) ke- Mahakuasa-an dan Keagungan Allah swt. Ayat tanziliyah/naqliyah (yang diturunkan atau transmited knowledge), seperti kitab-kitab suci dan ajaran para Rasul Allah (Taurat, Zabur, Injil dan Al Quran), maupun ayat-ayat kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam), keduanya bila dibaca, dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata, telinga dan hati (qalbu + akal) akan semakin mempertebal pengetahuan, pengenalan, keyakinan dan keimanan kita kepada Allah swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, Wujud yang wajib, Sumber segala sesuatu dan segala eksistensi). Jadi agama dan ilmu pengetahuan, dalam Islam tidak terlepas satu sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi koin dari satu mata uang koin yang sama. Keduanya saling membutuhkan, saling menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistik dan integratif. To be continue